Rezeki Kagetan Ala Masyarakat Aceh

Ilustrasi
Pena Fajar | Opini
Oleh M. Fajarli Iqbal
Kekayaan alam Indonesia khususnya Aceh tentu tak perlu diragukan lagi banyaknya. Ada begitu besar dan kayanya potensi alam yang dikandung Bumoe Aceh ini. Mulai dari gas alam yang berlimpah ruah dari perutnya, emas, dan sekarang kekayaan yang lain pun mulai muncul satu per satu ke permukaan.
Beberapa waktu lalu aceh dikejutkan dengan temuan emas di Gunoeng Ujeun yang membuat masyarakat berbondong-bondong banting stir pekerjaan menjadi pemburu indahnya kilauan emas Gunoeng Ujeun, sampai pada akhirnya eksploitasi secara berlebihan terjadi dan bahaya merkuri pun menghantui masyarakat sekitar. Hal tersebut membuat pemerintah mengambil keputusan untuk menutup tambang tersebut karena dianggap  berbahaya dan dapat mencemari alam dan juga dapat merusak kesehatan, walau harus menuai penolakan dari masyarakat setempat yang mempertahankan tambang emas tersebut. Serambi Indonesia  Minggu (31/8/2014)
Tak cukup sampai di situ dalam jangka waktu singkat masyarakat aceh kembali dhebohkan dengan penjualan batu-batu tertentu yang disebut giok dengan harga yang sangat fantastis. Demam batu giok pun mulai mewabah di Aceh, Serambi Indonesia juga pernah mengeluarkan berita ekslusif mengenai hal ini pada Selasa (16/12/2014). Tentu saja skenario yang sama pun terjadi seperti saat eksploitasi emas di Gunoeng Ujeun, masyarakat ramai-ramai banting stir jadi pemburu giok, eksploitasi alam secara berlebihan dan berakhir dengan larangan menambang batu berharga tersebut karena dianggap dapat merusak alam. (Serambi Indonesia (5/2/2015)
Di satu sisi tentu kita sama-sama berpikir bahwa ini semua merupakan rahmat dari yang mahakuasa. Aceh yang dijuluki Bumoe Seramoe Mekah memang memiliki kekayaan alam yang tiada batas. Namun di sisi lain kita seharusnya merenung, betapa latahnya kita saat rezeki itu datang dan saat ia pergi kita pun kembali lesu. Fenomena ini ketika direnungkan hampir sama dengan menunggu alam menyuapkan nasi ke mulut kita. Kita hanya menunggu rezeki kagetan selanjutnya datang. Mungkin seperti itulah rezeki kagetan ala masyarakat kita.
Tidak ada yang tahu pasti mengapa pola pikir menunggu rezeki kagetan  tersebut terbentuk dan tertaman dalam diri kita, mungkin ini terjadi saat kita masuk sekolah dasar dulu. Penulis masih sangat ingat ketika guru sekolah dasar dulu mengatakan bahwa Indonesia khususnya Aceh ini sangat kaya dengan berbagai potensi alam. 
Kalimat gemah ripah loh jenawi (kekayaan alam yang berlimpah) pun sering saya dengar, entah darimana kalimat itu berasal, mungkin yang diharapkan oleh guru tersebut adalah tumbuhnya semangat generasi muda untuk bangkit dan mengolah hasil alam yang terkandung di alam ini, namun sepertinya pola pikir yang terbentuk adalah “Ah tenang saja, kita tidak akan lapar kok, alam kita kan kaya.” Berbeda dengan guru sekolah dasar di Jepang yang mengatakan bahwa negri mereka tidak kaya dan sangat miskin, bumi yang mereka duduki kering dari sumber daya alam, guru di sana mengatakan bahwa alam mereka terbentuk dari karang dan bebatuan sehingga masyarakat harus pandai dalam mengolah apapun untuk bertahan hidup. Dan apa yang terjadi? Sekarang dapat kita lihat betapa jauhnya kita tertinggal dari Jepang baik itu dalam bidang teknologi maupun ekonomi.

Menyonsong MEA
MEA atau Masyarakat Ekonomi Asean sudah di depan mata, walaupun diundur sampai tanggal 31 Desember 2015 (Kompas Bengkulu 19 Desember 2014) namun itu bukanlah waktu yang lama. Persiapan MEA tentu sudah jauh-jauh hari dicanangkan, namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah “Sudah siapkah kita menyonsong MEA?” Jika kita masih pasif dalam hidup berekonomi, yang artinya masih menunggu rezeki kagetan selanjutnya dari alam, atau masih menunggu APBA (Anggaran Pemasukan Balanja Aceh) cair untuk menjalankan roda ekonomi, dapat dipastikan kita akan terdepak dengan sendirinya dari persaingan pasar global. 
Bukan hal yang tidak mungkin jika barang impor dengan harga saing mengalahkan barang lokal jika kita masih berjalan di tempat seperti sekarang ini. Mungkin nantinya kita hanya akan menjadi produsen barang mentah yang kemudian diolah dan dipacking dengan brand luar yang pada akhirnya dijual kembali kepada masyarakat kita dengan harga tinggi. Atau kita hanya menjadi konsumen setia yang hanya menunggu kerupuk muling (emping melinjo) dimasukkan ke dalam plastik dan dijual di supermarket, tanpa sadar bahwa kerupuk mulieng tersebut berasal dari kebun kita sendiri. Sangat ironi memang.

Mungkin kita sudah terlambat untuk membenahi diri secara besar-besaran namun terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali. Sudah saatnya kita berhenti menunggu jatuhnya emas dari langit atau keluarnya batu mulia dari alam dan kita juga harus berhenti menunggu kue APBA cair untuk menjalankan roda ekonomi. Konsep gemah ripah loh jenawi kita tinggalkan dulu dan kembali ke hadih maja masyarakat Aceh tempo dulu yaitu tapeujeumot droe, troe pruet, menyoe kaya ta meunabsu, tahareukat dilèe (menjadikan diri rajin/ulet membuat perut tidak lapar atau kenyang,  jika kaya yang kita inginkan maka kita harus berusaha) []
Share on Google Plus

About Unknown

Blog ini mencoba merekam jejak yang terlalu cepat punah.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment