Aku
Istrimu
Ilustrasi |
Pena Fajar | Cerpen
Malam semakin kelam.
Sunyi menusuk-nusuk jiwa yang telanjur lelah namun terpaksa tabah. Aku menunggu
selalu menunggu. Telah dua malam kau tak pulang. Saat kutanya, kau hanya
menjawab kau sibuk. “Urusan bisnis,” cuma itu kata yang keluar dari mulutmu.
Suara
bisisng dari luar membuat hatiku remuk rendam. Kata mereka kau sudah punya
wanita lain, wanita simpanan. Tak kupedulikan karena aku meyakinkan diriku
bahwa kau pasti kan pulang. Walau aku harus terus menunggu, paling tidak aku
tahu apa yang aku tunggu.
Aku
tahu bahwa pernikahan kita memang tak sepenuhnya karena cinta, aku tahu, aku
tahu itu walau setelah kita menikah. Aku juga tahu bahwa orang tuamu ingin
menjadikanku sebagai menantunya karena ingin menjalin kerjasama dengan keluarga
kami. Dalam urusan bisnis tentunya.
Aku
tahu bahwa kau juga tak menolak karena mungkin parasku sama seperti umumnya
wanita yang lahir dari keluarga kaya. Tidak begitu buruklah, aku juga tahu
bahwa kau tak pernah menaruh hati padaku, jangankan cinta, mungkin rasa sayang
pun tak pernah ada.. Aku juga tahu itu. Walau aku tahu semua itu setelah
beberapa tahun kita menikah. Dulu aku
berusaha mencintaimu rasa yang awalnya tidak ada tapi sekarang.... lihatlah aku
telah benar-benar cinta padamu. Begitu mudah aku jatuh cinta kan.
Terdengar
ketukan pintu dari luar.
“Sudah
pulang Bang?” Pertanyaan basi yang selalu kutanyakan saat kau pulang setelah
beberapa hari menghilang.
“Ah,,
ya, kamu sehat di rumah?” Pertanyaan rutin yang kau tanyakan tanpa benar-benar
ingin tahu jawabanku yang sebenarnya.
“Ya,
seperti biasa, Abang sudah makan?”
“Ya,,
kebetulan tadi sudah makan bersama teman-teman.”
Aku
tahu bahwa jawaban itu yang akan kau jawab, tapi aku tetap menyiapkan makan
malam untukmu, berharap kau makan denganku walau hanya sekali.
Seperti
biasa pula, dia masuk, mandi, dan tidur.
***
Beberapa
tahun sebelumnya aku adalah lulusan terpuji dari sebuah Universitas ternama.
Kemudian aku melanjutkan studiku ke luar negri sampai akhirnya mendapat gelar Master. Tentu saja itu kulakukan untuk
membuat kedua orang tuaku bangga dan tak menyesal bahwa mereka hanya mempunyai
seorang anak perempuan. Walau akhirnya menjadi istri orang lain.
Sebenarnya
aku bukanlah tipe wanita karir yang mempunyai impian tinggi. Aku hanya wanita simpel
yang ingin hidup sederhana dan mencurahkan perhatian pada keluarga dan anakku
kelak. Tapi tentu saja hal paling aku inginkan sebagai seorang wanita adalah
ingin mencintai dan dicintai.
Waktu
kadang terasa lamban bergerak bagi mereka yang hidup tanpa cinta. Begitu juga
yang sekarang sedang kurasakan. Aku hanya menunggu malam untuk melihat wajah
seorang lelaki yang telah telanjur kucintai.
Malam
pun kembali datang membawa sejuta harapan padaku. Harapan bertemu suamiku. Tapi
malam yang semakin malam hanya memberikanku kekosongan, hanya memberiku
kehampaan. Penantianku malam ini tak berujung. Aku hanya bisa sabar dan
menunggunya kembali malam besok.
Besok
pun tiba dan membawa malam untukku berharap.
Pintu
diketuk.
“Bang,
kemarin malam kok tidak pulang?”
“Oh
ada keperluan mendadak.” Kau jawab
pertanyaan itu tanpa sedikit pun menoleh, melirik ke wajahku.
Keadaan
ini sangat berbeda saat dulu kau datang padaku dengan sejuta senyum. Kau
perlakukan aku bak putri raja. Aku kau buai sampai ke bulan. Sampai saatnya
kini kau jatuhkan aku kembali dengan keras. Dengan keras. Sangat keras. Aku
baru sadar bahwa yang kau kejar dulu bukanlah aku, mungkin harta ayahku.
Entahlah.
Dulu,
sangat jelas terekam oleh otakku saat pertama sekali kau katakan cinta padaku.
Kau lakukan apa saja demi mendengar aku mengatakan bahwa aku juga mencintaimu. Sangat
jelas teringat olehku saat kau membawakanku seikat mawar setiap pagi, kau
letakkan di mejaku dengan catatan konyolmu itu. Harus kuakui aku kadang
menyukainya.
Kau
tak tahu bagaimana sakitnya hatiku saat aku mengetahui kalau mawar yang kau
saat itu hanyalah sandiwara yang kau mainkan demi mendapat hartaku. Tapi apa
dayaku, kini aku telah jatuh cinta padamu dan aku hanya bisa mencintai sekali.
Kau tak hanya merusak hidupku tapi juga kenangan indah yang telah kau beri.
Sedih? Air mataku bahkan sudah kering air mata untuk menangis.
Sampai
pada suatu hari percakapan ini pun terjadi.
“Bang,,
kenapa kau tak penah memperlakukanku layaknya sebagai istrimu?”
“Maksudmu
apa? Bukankah sudah kutunaikan segala kewajibanku sebagai suami?”
“Kewajiban
apa? Kewajiban birahimu itu?” Aku tak menyangka akan mengatakan hal itu.
“Maksudmu
apa?” Suaranya meninggi.
“Pernahkan
kau peduli padaku, peduli pada perasaanku?”
“Bukankah
semua kebutuhanmu telah terpenuhi?” Pertanyaanku hanya dibalas dengan
pertanyaan lagi.
“Bang,,
aku sayang padamu, aku cinta padamu, kutinggalkan segala yang kupunya hanya
untuk mencintaimu, gelar kubuang demi mencintaimu sepenuhnya, hidupku,,,, kau
lihat sendiri kan, hidupku kuhabiskan untuk menunggumu yang tak tentu kapan kau
pulang”
Dia
terdiam.
“Bukankan
sudah kuceritakan semuanya” Suaranya mulai pelan.
“Ceritakan
apa? Kau ceritakan bahwa kau tak mencintaiku saat kita sudah berumah tangga?
Saat kau sduah merusak hidupku? Saat aku telanjur cinta padamu?”
Dia
kembali terdiam, matanya tak sanggup menatapku.
“Jika
memang demikian kenapa tak kau ceraikan saja aku.”
“Tapi,
tak ingatkah kamu pada orang tua kita?”
“Jika
memang kau tak mencintaiku, tak mengapa, aku tahu cinta tak kan pernah bisa
dipaksa, tapi kenapa kau beri aku janin ini jika kau tak mencintaiku? Kenapa
kau beri aku buah cinta jika memang kau tak punya rasa? Kenapa? Pernahkan kau
menganggap aku ini adalah istrimu? Pernahkah walau hanya sekali? Jawab aku.”
Dia
terdiam kali ini, suasana benar-benar hening.
Banda
Aceh 2015
@fajarliiqbal
0 comments:
Post a Comment