Aceh, Patung, dan Batu
(Foto: Pameran Batu Giok di Hotel Hermes Palace Banda Aceh Dok. Fajarli) |
Opini | Jejak Fajar
Aceh merupakan titik pertama masuknya Islam di Indonesia dan peranannya pun sangat berpengaruh terhadap penyebaran Islam di Asia Tenggara. Tentu tidak heran jika propinsi yang terletak paling barat Pulau Sumatra ini diberi gelar seramoe mekah (serambi mekah) ha ini disebabkan karena kentalnya nafas Islam di bumi Aceh ini. Menurut data yang dilansir dari situs resmi kementrian dalam negri, kemendagri.go.id setidaknya 98 persen masayarakat Aceh yang menganut agama islam. Seharusnya dengan mayoritas masyarakat Aceh yang beragama Islam tersebut, menjalankan hukum sesuia dengan paraturan islam tentu bukanlah hal yang sulit, islam yang kaffah tentu menjadi idaman kita semua. Nah, apa hubungan Aceh, Patung, dan Batu? Penulis mencoba melihat budaya dan kultur masyarakat aceh yang mulai memperlihatkan pergeseran nilai. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya patung yang bertebaran di setiap toko seperti toko baju. Hal ini tentu tidak kita temukan di bumoe aceh beberapa tahun silam, namun sekarang agaknya patung merupakan aksesoris wajib dalam sebuah toko pakaian. Masyarakat aceh dahulu menganggap bahwa memiliki patung merupakan hal yang sangat tabu, dapat kita perhatikan bersama di daerah aceh tidak ada patung pahlawan yang dibangun untuk mendedikasikan jasanya karena memang hal tersebut dianggap tabu. Jika kita telusuri lebih jauh, tidak heran jika mayarakat aceh menganggap bahwa memiliki patung adalah hal yang tabu dan dilarang, ini semua mengacu pada hadis riwayat bukhari dan muslim. ”Para malaikat tidak akan masuk ke rumah yang terdapat gambar (makhluk hidup) di dalamnya” (HR. Bukhary dan Muslim) Masyarakat aceh tempo dulu tidak berani memajang patung dalam tokonya, namun dengan perkembangan zaman patung mulai muncul, patung yang awalnya tanpa kepala sampai ke patung utuh layaknya manusia. Dari semua pergeseran nilai tersebut hal yang paling mengherankan adalah tidak adanya pertentangan yang kontras dari masyarakat Aceh sekarang ini mengenai patung yang merajalela, masyarakat seakan tenang-tenang saja dengan pergeseran nilai yang ada.
Aceh merupakan titik pertama masuknya Islam di Indonesia dan peranannya pun sangat berpengaruh terhadap penyebaran Islam di Asia Tenggara. Tentu tidak heran jika propinsi yang terletak paling barat Pulau Sumatra ini diberi gelar seramoe mekah (serambi mekah) ha ini disebabkan karena kentalnya nafas Islam di bumi Aceh ini. Menurut data yang dilansir dari situs resmi kementrian dalam negri, kemendagri.go.id setidaknya 98 persen masayarakat Aceh yang menganut agama islam. Seharusnya dengan mayoritas masyarakat Aceh yang beragama Islam tersebut, menjalankan hukum sesuia dengan paraturan islam tentu bukanlah hal yang sulit, islam yang kaffah tentu menjadi idaman kita semua. Nah, apa hubungan Aceh, Patung, dan Batu? Penulis mencoba melihat budaya dan kultur masyarakat aceh yang mulai memperlihatkan pergeseran nilai. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya patung yang bertebaran di setiap toko seperti toko baju. Hal ini tentu tidak kita temukan di bumoe aceh beberapa tahun silam, namun sekarang agaknya patung merupakan aksesoris wajib dalam sebuah toko pakaian. Masyarakat aceh dahulu menganggap bahwa memiliki patung merupakan hal yang sangat tabu, dapat kita perhatikan bersama di daerah aceh tidak ada patung pahlawan yang dibangun untuk mendedikasikan jasanya karena memang hal tersebut dianggap tabu. Jika kita telusuri lebih jauh, tidak heran jika mayarakat aceh menganggap bahwa memiliki patung adalah hal yang tabu dan dilarang, ini semua mengacu pada hadis riwayat bukhari dan muslim. ”Para malaikat tidak akan masuk ke rumah yang terdapat gambar (makhluk hidup) di dalamnya” (HR. Bukhary dan Muslim) Masyarakat aceh tempo dulu tidak berani memajang patung dalam tokonya, namun dengan perkembangan zaman patung mulai muncul, patung yang awalnya tanpa kepala sampai ke patung utuh layaknya manusia. Dari semua pergeseran nilai tersebut hal yang paling mengherankan adalah tidak adanya pertentangan yang kontras dari masyarakat Aceh sekarang ini mengenai patung yang merajalela, masyarakat seakan tenang-tenang saja dengan pergeseran nilai yang ada.
Masuk ke Zaman Batu
Setelah
melewati zaman patung kini Aceh mulai masuk ke zaman batu atau zaman giok.
Dewasa ini masyarakat Aceh sedang merasakan demam batu giok, eforia masyarakat
yang berlebihan mengundang berbagai komentar sampai tanggapan para ulama. Pada
tanggal 30 Januari 2015 media ini pernah menurunkan berita mengenai keresahan
ulama aceh terkait eforia masyakat terhadap batu giok. Keresahan para ulama
bukanlah tanpa alasan, hal ini disebabkan karena tidak sedikit penggemar batu
tersebut yang percaya terhadap hal mistis yang terkandung dalam jenis batu
tertentu. Hal ini tentu saja sangat bertentangan dengan akidah dan dapat
membawa ke jalan syirik. Namun demikian semua perbuatan tentu tergantung pada
niatnya. Jika niatnya baik maka sah-sah saja memakai baju akik tersebut.
Sebenarnya
point dari tulisan kali ini bukanlah larangan memajang patung ataupun larangan
memakai giok yang menjurus kepada syirik, namun penulis berusaha melihat pola
pikir masyarakat dalam menerima sesuatu. Agaknya filter agama yang dimiliki
oleh rakyat aceh mulai pudar seiring dengan perkembangan zaman. Rakyat aceh
sekarang cenderung menerima apa saja tanpa menyeleksi hal itu bagus atau tidak,
sesuai dengan budaya aceh yang kental dengan ruh islam atau tidak. Penyebaran
ajaran sesat yang marak di aceh beberapa tahun terakhir ini mungkin saja ada
hubungannya dengan pola pikir rakyat aceh yang menerima apa saja. Dikutip dari
republika.co.id mengenai pernyataan Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Aceh
Amiruddin menyatakan bahwa saat ini Aceh memasuki darurat aqidah sehingga bila
tidak di atasi bisa mengancam aqidah masyarakat Aceh yang mayoritas muslim. "Kami
prihatin saat ini Aceh darurat aqidah. Buktinya, banyak kegiatan pendangkalan
aqidah marak terjadi di Aceh," ungkap Amiruddin di Banda Aceh, Senin (2/2/2015).
Tidak bermaksud memukul rata namun penulis
yang juga asli asoe lhok beranggapan
bahwa masyarakat aceh sekarang ini tidak lagi memiliki filter yang kuat dalam
mengahdapi globalisasi. Tulisan ini tidak mengajak rakyat Aceh untuk menutup
diri dari budaya luar namun agaknya kita bersama perlu merenung kembali siapa
kita sebenarnya. Kita tidak boleh mematung seperti patung atau membatu seperti batu
dalam menyikapi fenomena kehidupan ini. Semoga kita tidak caprah dalam menyikapi berbagai hal.
0 comments:
Post a Comment