Nyanyiah Sunyi Nyak Mah
Ilustrasi |
Pena Fajar | Cerpen
Senja mulai dikejar
gelap malam. Aku masih duduk di teras rumah sambil menikmati pekatnya kopi
bersama istri dan kedua anakku. Lantunkan ayat suci al-quran sangat indah terdengar
dari qari internasional yang berasal dari kaset rekaman. Memang kegiatan seperti
ini menjadi agenda rutinku saat akhir pekan. Kopi, istri, dan anak-anak oh
sungguh sempurna.
Di saat-saat aku sedang
menikmati hudup yang kelihatannya sederhana, sayup-sayup kudengar suara Nyak
Mah dari kejauhan.
“Aku tidak gila,
lepaskan aku, aku tidak gila.”
Teriakan yang semacam
itu sudah merupakan hal yang biasa di kampung kami. Saat matahari ingin
istirahat saat itulah Nyak Mah melengkingkan kata-katanya yang sudah sangat
dihafal orang sekampung.
Dari balik jeruji kayu
dan pasungan papan Nyak Mah selalu berteriak mengatakan kepada orang kampung
bahwa ia tidak gila. Dan hal itu rutin ia kerjakan saat azan magrib
berkumandang. Saat dunia berhenti sejenak dalam beraktivitas.
Sebenarnya Nyak Mah
adalah wanita sederhana dengan hidup sederhana. Sebelum ia menjadi aneh atau
lebih tepatnya disebut gila, ia merupakan kembang desa yang sangat dielu-elukan
para pemuda. Di samping cantik, Nyak Mah juga rajin ke meunasah untuk mengaji.
Sungguh calon istri yang sangat ideal.
Tapi itu 10 tahun yang
lalu saat kampung kami masih disebut-sebut sebagai lahan pemberontak. Aku masih
muda waktu itu. bahkan aku pernah terlibat kisah dengan Nyak Mah yang sampai
sekarang membuat hatiku pilu jika mengingatnya.
Saat keadaan kampung
masih normal kami adalah teman satu pengajian. Nyak Mah merupakan gadis yang
sangat cerdas,cantik dan berbudi. Saat itu kami masih muda, diam-diam hatiku
mempunyai rasa lain padanya. Entah itu rasa apa, sampai sekarang pun aku belum
tahu.
Saat itu kampung kami
masih dalam keadaan biasa, seperti halnya kampung yang lain. Walaupun sesekali
ditemukan ada mayat di parit, sungai atau pun di toilet meunasah. Itu masih hal
yang biasa.
Pada suatu hari aku
mengutarakan isi hatiku pada Nyak Mah. Aku memberanikan diri mengungkapkan rasa
itu pada Nyak Mah. Gayung pun bersambut bersambut, dia juga menyimpan rasa
padaku.
“Bang, lamar aku bang,
aku tak ingin hubungan ini tanpa ikatan.” Seperti disambar petir, aku mendengar
perkataan yang sangat tengas dari wanita berkulit langsat itu.
“Tapi dek, abang belum
punya apa-apa.”
“Harta bisa dicari bang
tapi perasaan ini tak bisa menunggi lagi, abang tahu sendiri kan, negara sedang
kacau, aku tak ingin kita berpisah”
“Justru itu dek, negara
sedang kacau, cari makan susah.”
“Kenapa abang ungkapkan
cinta jika tak ingin berumah tangga?” Sungguh pertanyaan yang luar biasa yang
pernah kudengar dari seorang gadis.
“Tapi,,.,”
“Jika abang memang
serius denganku, lamar aku minggu ini.” Dia pun berbalik arah meninggalkanku.
Seminggu 2 minggu dan
bulan pun berlalu. Aku yang masih sangat muda waktu itu tak terpikiran untuk
berumah tangga. Hubunganku dengan Nyak Mah pun mulai renggang. Dia mulai
menjauh, jika mengobrol pun tak seintim dulu. Aku merasa kosong.
Saat kekacauan batin
ini, negara pun ikut kacau. Kampung kami dilabeli sebagai sarang pemberontak,
sehingga kami yang muda harus masuk ke hutan guna menyelamatkan nyawa, karena
takut dituduh sebagai pemberontak.
Pasukan pun diturunkan
ke kampung kami. Pos-pos terlihat dimana-mana. Aku yang sudah masuk ke hutan
masih belum mengetahui dan memahami keadaan apa ini. Entah mana yang salah,
yang kutahu hanya kisahku yang belum selesai dan mungkin tak pernah selesai.
***
Saat itu keadaan mulai
membaik. Aku pun turun dari hutan untuk menemui keluargaku dan tentu saja
bertemu Nyak Mah.
Begitu terkejutnya aku
ketika melihat Nyak Mah yang selama ini ada dalam mimpiku sudah berbadan dua.
Wajah cantinya seakan
luntur. Tampak sekali ia kurang mengurus diri. Entah apa sebabnya.
“Ke-napa?” Tanyaku.
Ia hanya tersenyum.
Senyum yang pahit, pahit sekali.
“Kamu di hutan sehat?”
Aku hanya diam. Menatap
dalam ke matanya. Tak sanggup, tak sanggup aku menatap mata bening itu.
“Siapa ayahnya?”
“Aku tak tahu, ayahnya
mungkin perang ini.” Jawabanya, pilu sekali.
Perlahan aku mundur.
Pikiranku kosong. Langkahku gontai. Aku berbalik arah. Meninggalkan yang tak
seharusnya kutinggalkan. Aku berlari, semakin cepat, semakin jauh dari sesuatu
yang tak seharusnya kutinggalkan di belakang.
***
Hari terus berlalu
tanpa seorang pun yang dapan menahannya. Begitu juga janin yang ada dalam
kandungan Nyak Mah, sekarang janin itu telah menjadi bayi, bayi wanita yang
sangat cantik, bahkan melebihi ibunya.
Belakang aku baru tahu
bahwa ayah biologis anak itu adalah seorang yang dulu datang ke kampung kami.
Ia salah satu pimpinan yang menjaga di pos dekat rumah Nyak Mah. Dan kejadian
tak enak itu pun terjadi sehingga Nyak Mah pun dikawinkan dengan seorang yang
katanya juga sudah beristri itu.
Saat pasukan itu
ditarik kembali, tinggallah Nyak Mah dengan oleh-oleh perang itu. sendiri,
tentu saja.
Sesekali aku masih
menyantuni Nyak Mah. Melihat anaknya yang mulai tumbuh dengan hanya seorang
ibu, anak itu sangat cantik dan sehat. Berbanding terbalik dengan ibunya yang
mulai tua sebelum waktunya dan kecantikannya yang dulu seakan hilang tergerus
waktu.
Aku sangat kasihan
melihatnya, melihat orang yang dulu pernah menepati ruang dalam hatiku dan
bahkan sekarang pun masih.
Hingga sampailah pada
suatu hari, orang tuaku memilihkan jodoh untukku. Lebih tepatnya memilihkan
istri untuku. Aku pun tak menolak. Hanya mengikuti alur dan kami pun menikah.
Acara pun digelar
dengan meriah karena memang wanita yang menjadi istriku dari kalangan terpandang
dan termasuk ke dalam keluarga yang berada.
Hingga sampailah
undangan pesta kami kepada Nyak Mah. Entah apa yang ia pikirkan, tapi undangan
itu ia terima dengan senyuman.
***
Sepuluh tahun pun
berlalu dan entah mulai kapan Nyak Mah dianggap tidak normal dan kemudian
dipasung hingga nyanyian sepi Nyak Mah menjadi alunan pengantar tidur matahari
dan menjadi lagu pilu pada ruang hatiku. Dan tentu saja saat Nyak Mah mulai
melengkingkan suaranya selalu ada anak kecil yang sekarang berumur 10 tahun berdiri
di luar jeruji kayu itu. mendengar ibunya menyanyikan nyanyian sunyi yang tentu
saja sangat menyayat hati.
Banda Aceh 2014
*Meunasah = tempat
melangsungkan acara adat di Aceh, bisa juga sebagai tempat pengajian, tempat
shalat, dll.
0 comments:
Post a Comment