Ribut-ribut TOEFL Jangan ‘Anaktirikan’ UKBI

Ribut-ribut TOEFL Jangan ‘Anaktirikan’ UKBI
Ribut-ribut TOEFL Jangan ‘Anaktirikan’ UKBI
(Ilustrasi)
Opini | Pena Fajar
Test of English as a Foreign Language (TOEFL) adalah ujian kemampuan berbahasa Inggris yang sekarang sedang trend di dunia pendidikan kita. Tes ini pada dasarnya diperuntukkan bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan atau bekerja di negara yang memakai bahasa Inggris. Namun seiring berkembangnya zaman tes ini pun menjadi salah satu syarat lulus di hampir seluruh universitas di Indonesia. Nilai yang harus dicapai dari tes TOEFL ini pun tiap tahun naik.
Salah satu universitas terbesar dan tertua di Aceh  misalnya, menetapkan angka 475 sebagai syarat kelulusan. (detak-unsyiah.com 18/2/2015) Tak ayal jika angka ini menjadi momok menakutkan di kalangan calon sarjana. Dengan skor yang begitu tinggi dan pembelajaran bahasa Inggris yang minim, wajar saja jika skor yang demikian sangat sulit untuk diperoleh oleh mahasiswa. Baru-baru ini mencuat berbagai fakta bahwa kita belum sanggup mencapai nilai yang tinggi tanpa dibarengi dengan proses yang mumpuni. Tak heran jika  muncul  kasus pemalsuan sertifikat TOEFL karena tidak sedikit yang ingin segera lulus.
Pemalsuan sertifikat TOEFL ternyata juga pernah terjadi di Surabaya. Sebanyak 94 mahasiswa Insitut Teknologi Sepuluh November (ITS) harus menunda kelulusan dan tidak mengikuti wisuda karena  banyak dari mereka yang tersandung dengan  nilai TOEFL. (kabarkampus.com 25/22015)
Kebijakan pemerintah maupun kampus yang menerapkan tes TOEFL sebagai syarat kelulusan memang patut diancungi jempol karena dengan adanya tes tersebut mahasiswa dituntut untuk belajar bahasa Inggris lebih ekstra. Konon katanya bahasa yang satu ini dinobatkan sebagai bahasa internasional dan sebagai modal menghadapi persaingan global sehingga wajib untuk dipelajari dan dikuasai. Namun apakah sudah benar jika hanya dengan menaikkan skor TOEFL mahasiswa akan serta merta bisa menguasai bahasa Inggris? Tentu tidak.
Menaikkan nilai TOEFL agaknya bukan keputusan yang pro terhadap peserta didik. Karena pada dasarnya bukan nilai dan setifikat yang dibutuhkan, akan tetapi skil dalam menggunakan dan memahami bahasa Inggris yang diinginkan, yang dibutuhkan sekarang adalah pembelajaran bahasa Inggris yang mumpuni, sehingga bahasa asing tersebut dapat dengan mudah dicerna dan dipahami sehingga tes TOEFL pun tidak menjadi momok menakutkan bagi calon sarjana.
Namun kenyataan di lapangan tidak demikian, tes TOEFL dengan nilai yang tinggi itu hanya dibekali 2 SKS (Satuan Kredit Smester) pelajaran bahasa Inggris selama mahasiswa menjalani program strata satu (S1), belum lagi materi yang dipelajari dalam mata kuliah umum bahasa Inggris dianggap sangat dasar dan jauh dari materi TOEFL itu sendiri.
Lahan untuk belajar bahasa asing memang terbuka luas dengan hadirnya berbagai macam les atau bimbingan belajar bahkan kampus-kampus tertentu menyediakan wadah untuk belajar bahasa Inggris lebih intensif. Namun apakah semua mahasiswa dapat membayar biaya pendidikan sampingan tersebut yang konon harganya tak kalah mahal dengan SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) di universitas?  
Para pengambil kebijakan harus mengedepankan bagaimana mengajarkan bahasa Inggris dengan efektif dan efesien kepada seluruh calon sarjana tanpa embel-embel tambahan dana yang besar.
Apa Kabar UKBI?
Di tengah ribut-ribut TOEFL saya jadi teringat dengan UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia) yang seakan dianaktirikan oleh orang tua kandungnya sendiri.  UKBI hampir sama dengan TOEFL yang juga merupakan jenis tes kemahiran berbahasa namun dalam bahasa Indonesia. Berbeda dari tes pencapaian (achievement test) tes kemahiran berbahasa mengacu pada kriteria situasi penggunaan bahasa yang dialami atau dihadapi oleh peserta uji, sedangkan tes pencapaian merupakan sebuah tes untuk mengukur hasil belajar.
Gagasan pengembangan UKBI telah dimulai sejak 1980-an dan pembakuan dan pembukuannya pada 2003, terutama setelah UKBI mendapatkan SK Mendiknas Nomor 152/U/2003. Namun bagaimana dengan penerapannya? Sudah setarakah dengan TOEFL? Tentu saja belum, hal ini dikarenakan UKBI tidak bersifat wajib dan masyarakat menganggap bahasa Indonesia telah benar-benar dikuasai padahal sangat banyak siswa yang gagal Ujian Nasional karena nilai bahasa Indonesianya anjlok.
Menerapkan tes TOEFL merupakan langkah maju yang sangat bagus karena dengan menguasai bahasa Inggris kita dapat menghadapi era globalisasi dengan lebih percaya diri. Namun, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan identitas bangsa tidak boleh dilupakan atau disepelekan begitu saja. Tentu bangsa ini tidak ingin memiliki warga negara yang pandai berbahasa asing namun buta dengan bahasa sendiri.
Bahasa indonesia tidak boleh lagi dianggap sepele, jika tetap demikian maka kita akan kembali menemukan para sarjana atau doktor yang tidak bisa menulis karya ilmiah karena alasan kurang cakap merangkai kata atau buta ejaan, dan kita juga akan menemukan warga asing yang lebih banyak mengetahui kaidah bahasa Indonesia dibanding penutur aslinya.
TOEFL menjadi wajib syarat wajib lulus sebagai sarjana dan orang-orang pun berbondong-bondong meronggoh kocek lebih dalam untuk bisa lulus dengan cara apapun seperti pembelajarang ekstra dan lain sebagainya. Namun, apakah kita pernah sekali saja mengikuti tes UKBI? Atau belajar lebih ekstra mengenai bahasa persatuan ini selain saat mengikuti ujian nasional?
Kebijakan mengenai TOEFL dan UKBI perlu dilihat kembali agar dunia pendidikan di negri ini menjadi lebih baik ke depannya. Sebagai mahasiswa kita juga tidak boleh paranoid dengan TOEFL mulai sekarang mari kita belajar bersama untuk pendidkan yang lebih baik dan menghadapi persaingan global dengan percaya diri tinggi, dan disamping itu kita juga tidak boleh melupakan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa dan bahasa pemersatu republik ini.[]
Banda Aceh Maret 2015


Share on Google Plus

About Unknown

Blog ini mencoba merekam jejak yang terlalu cepat punah.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment