Aceh dan Angsa Bertelur Emas
(Ilustrasi Google) |
Opini | Pena Fajar
Dulu saya pernah menengar cerita yang sedikit aneh, cerita tersebut menceritakan mengenai seorang yang mempunyai seekor angsa yang bertelur emas. Ia sangat terkejut ketika tahu angsa peliharaannya bertelur emas. Namun hal tersebut juga menjadikan ia senang karena kehidupannya mulai berubah. Angsa tersebut setiap hari mengeluarkan sebutir telur emas, terus seperti itu sampai pemilik angsa tersebut merasa bahwa sebutir telur emas setiap hari tidaklah cukup, sehingga ia pun menyembelih angsa yang bertelur emas tersebut dengan maksud mendapatkan emas lebih banyak. Namun apa yang terjadi? Angsa itu mati tanpa mengeluarkan emasnya lagi. Itulah cerita aneh yang pernah saya dengar saat masih kecil. Cerita tersebut ketika saya cep-cep (merasa) sekarang ini memiliki kemiripan dengan keadaan kita sekarang. Sekitar setahun yang lalu Aceh dikejutkan dengan temuan emas di Gunoeng Ujeun yang menghebohkan masyarakat. Tidak sedikit yang mulai berganti profesi menjadi penambang emas. Segala cara dilakukan untuk mencari logam mulia tersebut sampai penggunaan merkuri secara ilegal. Serambi Indonesia pernah menurunkan berita ekslusif mengenai penambangan emas tersebut dan menurut Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Aceh mengungkapkan, jumlah merkuri ilegal yang beredar di Indonesia setiap tahun tidak kurang 60 ton. Kalau 5 persen saja beredar di Aceh, maka setiap tahunnya tidak kurang 3 ton merkuri mencemari daerah ini. (Serambi Indonesia 20/9/2014) penggunaan merkuri sendiri sangat berbahaya apalagi dilakukan secara ilegal tanpa tahu aturan dan pengolahan limbah yang benar. Kita semua pasti tidak ingin tragedi minamata (tragedi yang pernah terjadi di Jepang dan menewaskan banyak orang akibat limbah merkuri) terjadi di Aceh.
Dulu saya pernah menengar cerita yang sedikit aneh, cerita tersebut menceritakan mengenai seorang yang mempunyai seekor angsa yang bertelur emas. Ia sangat terkejut ketika tahu angsa peliharaannya bertelur emas. Namun hal tersebut juga menjadikan ia senang karena kehidupannya mulai berubah. Angsa tersebut setiap hari mengeluarkan sebutir telur emas, terus seperti itu sampai pemilik angsa tersebut merasa bahwa sebutir telur emas setiap hari tidaklah cukup, sehingga ia pun menyembelih angsa yang bertelur emas tersebut dengan maksud mendapatkan emas lebih banyak. Namun apa yang terjadi? Angsa itu mati tanpa mengeluarkan emasnya lagi. Itulah cerita aneh yang pernah saya dengar saat masih kecil. Cerita tersebut ketika saya cep-cep (merasa) sekarang ini memiliki kemiripan dengan keadaan kita sekarang. Sekitar setahun yang lalu Aceh dikejutkan dengan temuan emas di Gunoeng Ujeun yang menghebohkan masyarakat. Tidak sedikit yang mulai berganti profesi menjadi penambang emas. Segala cara dilakukan untuk mencari logam mulia tersebut sampai penggunaan merkuri secara ilegal. Serambi Indonesia pernah menurunkan berita ekslusif mengenai penambangan emas tersebut dan menurut Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Aceh mengungkapkan, jumlah merkuri ilegal yang beredar di Indonesia setiap tahun tidak kurang 60 ton. Kalau 5 persen saja beredar di Aceh, maka setiap tahunnya tidak kurang 3 ton merkuri mencemari daerah ini. (Serambi Indonesia 20/9/2014) penggunaan merkuri sendiri sangat berbahaya apalagi dilakukan secara ilegal tanpa tahu aturan dan pengolahan limbah yang benar. Kita semua pasti tidak ingin tragedi minamata (tragedi yang pernah terjadi di Jepang dan menewaskan banyak orang akibat limbah merkuri) terjadi di Aceh.
Beralih ke Giok
Setelah euforia emas redup masyarakat Aceh
kembali dikejutkan dengan mewabahnya deman giok yang akhir-akhir ini menyerang
masyarakat Aceh. Batu yang dihargai bak emas tersebut mulai menyita perhatian
berbagai kalangan. Mulai dari pengusaha, pejabat, akademisi, sampai para ustad
memiliki batu giok di tangan bahkan ada sebagiannya tergantung di leher atau
melilit di tangan. Tak heran jika banyak masyarakat aceh yang banting stir
profesi menjadi pemburu giok atau hanya jadi tukang asah. Namun fenomena giok
ini memiliki kemiripan dengan fenomena emas di aceh. Tidak sedikit para pemburu
giok yang menjarah kekayaan alam secara berlebihan sehingga alam pun mulai
memperlihatkan keadaan yang negatif. Belum lama ini Pemda Nagan raya
mengeluarkan keputusan larangan mencari giok di wilayah hukumnya karena
terindikasi dapat merusak alam. (Serambi Indonesia (5/2/2015) tentu saja sudah
banyak kabar yang tersiar bagaimana proses pencarian giok dengan cara yang
tidak wajar samapai menyebabkan bencana seperti
longsor, banjir, pecemaran air. Direktur Walhi Aceh (wahana lingkungan hidup)
Muhammad Nur pernah mengeluarkan pernyataan mengenai hal ini, ia mengatakan
bahwa acaman ekologi akibat giok lebih besar ketimbang keuntungan sesaat yang
diperoleh para penambang dan pencari giok di pegunungan, lembah, dan
hutan-hutan Nagan Raya. (Serambi Indonesia 5/2/2015)
Angsa Bertelur Emas
Fenomena emas dan giok mengingatkan
saya mengenai cerita angsa yang bertelur emas di atas. Jika kita diibaratkan
sebagai pemilik angsa maka aceh ini seperti angsa yang bertelur emas. Jika kekayaan Aceh yang dikeruk secara tidak wajar
dan berlebihan maka hal itu sama seperti menyembelih angsa untuk mendapatkan
telur emas yang lebih banyak. Kita seakan lupa bahwa alam ini perlu dijaga agar
kekayaanya dapat kita nikmati lebih lama. Mengeruk kekayaan secara berlebihan
ibarat memasang bom waktu yang bisa meledak kapan pun. Aceh memang negri yang
sangat kaya, namun untuk mendapatkan hasil alam tersebut sebaiknya digunakan
cara-cara yang baik dan wajar, jangan sampai kita berperilaku sama seperti
pemilik angsa bertelur emas yang menyembelih angsanya untuk mendapatkan emas,
namun pada akhirnya yang didapat hanya angsa yang mati tanpa bisa mengeluarkan
telur emas lagi. Saat saya masih kecil saya menganggap bahwa cerita angsa
bertelur emas itu sangat aneh dan konyol, mengapa pemilik angsa tersebut
menyembelih angsanya? Padahal sebutir emas per hari sudah lebih dari cukup
untuk kebutuhannya, dan sekarang jawaban tersebut muncul dengan sendirinya, itu
adalah sifat serakah yang ada pada diri manusia, jika kita tidak sanggup
mengontrolnya maka kerusakanlah yang akan muncul di kemudian hari. Semoga kita
tidak menjadi serakah seperti pemilik angsa dalam cerita aneh di atas dan
mengorbankan tanoeh Aceh tercinta itu
untuk keuntungan sesaat. Semoga.
Banda Aceh Februari 2015
0 comments:
Post a Comment